ketika aku memilih berbicara lewat tulisan...

Tuesday, March 1, 2016

Aduh, nak ! kau mengganggu saja



                Aku melenggang menuju teras. Aku ingin menyambut senja hari ini di sana. Teras rumah adalah salah satu sudut rumah favoritku. Di halaman rumah ada bermacam-macam tanaman yang dirawat oleh istriku. Meski bukan batako atau paving, hanya tanah yang ditutup dengan batu-batu kecil. Tapi aku suka, itu ide istriku juga. Katanya biar terlihat asri dan tetap bisa menyerap air hujan.
            “Monggoh, mas (silahkan, mas),” tiba-tiba istriku datang dengan menyuguhkan kopi dan pisang goreng.
            “Nggih, ndo (iya, ndo),” aku tersenyum. Aku berusaha memberikan senyum termanis untuk istriku, semoga senyumku benar-benar manis.
            “Sluurrppp…mantaapp…” aku memandang istriku, ia tersenyum. Memamerkan barisan giginya yang rapi dan lesung di kedua pipinya.
            “Ahai !  manis sekali,” pujiku dalam hati.
Aku bak burung terbang, melayang dibuatnya. Entah kenapa istriku selalu terlihat cantik sekali di mataku. Meski kami ini bukan lagi pasangan mahmud dan pahmud alias mamah muda dan papah muda. Ya, aku masih saja malu-malu ketika harus memuji istriku. Ia pun demikian, dari dulu dia hanya bisa tersenyum lalu memunduk tiap aku memujinya.
“Gak terasa ya ndo, kita sudah dua puluh tahun bersama. Aku bahagia sekali ndo hidup denganmu, sungguh..” aku pasang wajah serius. Istriku tertawa dan tetap manis.
“Kok ketawa toh ndo?” aku bingung, kenapa dia tidak bilang kalau aku ini so sweet sekali.
“Mas ini lho lucu sekali. Mas mau pasang muka serius semaksimal apapun tetap saja tetap lucu dilihat. Kenapa mas gak jadi komika saja?” bidadariku tertawa lagi.
“Kamu ini, ndo..” aku mengajak-acak rambut belakangku, melirik pisang goreng di piring.
Awalnya aku berniat mengambil satu potong pisang goreng itu. Tapi entah kenapa aku lebih tertarik meraih tangan perempuan yang ada di sampingku. Kugenggam lembut jemarinya, kucium punggung tangannya.
“Ndo, kamu itu cantik. Bahkan sampai detik ini. Bertambahnya usia tak membuat kecantikanmu berkurang. Kadang mas mikir, Allah kok baik banget sama mas ya? Mas di anugerahi istri yang cantik dan baik seperti kamu,
“Mas bukan anak presiden, anak menteri, anak pejabat, anak orang kaya. Mas tahu dulu bukan hanya mas yang menginginkan kamu menjadi pendamping hidup. Banyak lelaki yang pasti jauh lebih mapan dari mas, iya toh?” kutatap kedua matanya yang belo.
“Bukan aku yang milih kamu, mas. Allah yang pilihin kamu buat aku. Bukankah jika Allah menghendaki kedua orang untuk bersama, Dia akan memberikan rasa pada keduanya?
“Aku juga bahagia hidup dengan kamu. Belum tentu aku sebahagia ini kalau sekarang aku menikah dengan mereka yang waktu itu lebih mapan dari kamu, mas…
“Kamu yang terbaik akhlaknya diantara mereka, mas. Kamu selalu ingetin aku sama Allah. Bersamamu, aku semakin dekat dengan Allah. Meskipun tidak semua yang aku inginkan ada di kamu, tapi kamu punya semua yang aku butuhkan, mas..” katanya.
Melelehlah sudah hatiku, ingin sekali aku memeluknya saat itu tapi aku malu kalau ada yang lihat. Ya…meskipun halaman rumahku di pagar, tetap saja kalau Pak RT lewat beliau tetap bisa lihat.
“Pak, flashdisk yang kemarin bapak pinjam mana? Mau Rena pakai.” Tanpa permisi Rena putriku tiba-tiba muncul dari dalam rumah.
Spontan aku melepas genggaman tanganku, menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Kulihat istriku hanya senyum-senyum. Iya sepertinya aku terlihat culun sekali. Kuteguk lagi kopi hitam di cangkir putih itu.
“Iya ada di kamar, sebentar bapak ambilkan..” aku beranjak, setelah menyunggingkan senyum pada cantikku.
“Aduh, nak ! kau mengganggu saja...” omelku dalam hati.


#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari



           
           

4 komentar:

© Liana's Blog, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena