Aku
melenggang menuju teras. Aku ingin menyambut senja hari ini di sana. Teras
rumah adalah salah satu sudut rumah favoritku. Di halaman rumah ada bermacam-macam
tanaman yang dirawat oleh istriku. Meski bukan batako atau paving, hanya tanah
yang ditutup dengan batu-batu kecil. Tapi aku suka, itu ide istriku juga.
Katanya biar terlihat asri dan tetap bisa menyerap air hujan.
“Monggoh, mas (silahkan, mas),” tiba-tiba istriku datang
dengan menyuguhkan kopi dan pisang goreng.
“Nggih, ndo (iya, ndo),” aku tersenyum. Aku berusaha
memberikan senyum termanis untuk istriku, semoga senyumku benar-benar manis.
“Sluurrppp…mantaapp…” aku memandang istriku, ia
tersenyum. Memamerkan barisan giginya yang rapi dan lesung di kedua pipinya.
“Ahai ! manis
sekali,” pujiku dalam hati.
Aku
bak burung terbang, melayang dibuatnya. Entah kenapa istriku selalu terlihat cantik
sekali di mataku. Meski kami ini bukan lagi pasangan mahmud dan pahmud alias
mamah muda dan papah muda. Ya, aku masih saja malu-malu ketika harus memuji
istriku. Ia pun demikian, dari dulu dia hanya bisa tersenyum lalu memunduk tiap
aku memujinya.
“Gak
terasa ya ndo, kita sudah dua puluh tahun bersama. Aku bahagia sekali ndo hidup
denganmu, sungguh..” aku pasang wajah serius. Istriku tertawa dan tetap manis.
“Kok
ketawa toh ndo?” aku bingung, kenapa dia tidak bilang kalau aku ini so sweet
sekali.
“Mas
ini lho lucu sekali. Mas mau pasang muka serius semaksimal apapun tetap saja
tetap lucu dilihat. Kenapa mas gak jadi komika saja?” bidadariku tertawa lagi.
“Kamu
ini, ndo..” aku mengajak-acak rambut belakangku, melirik pisang goreng di
piring.
Awalnya
aku berniat mengambil satu potong pisang goreng itu. Tapi entah kenapa aku
lebih tertarik meraih tangan perempuan yang ada di sampingku. Kugenggam lembut
jemarinya, kucium punggung tangannya.
“Ndo,
kamu itu cantik. Bahkan sampai detik ini. Bertambahnya usia tak membuat
kecantikanmu berkurang. Kadang mas mikir, Allah kok baik banget sama mas ya?
Mas di anugerahi istri yang cantik dan baik seperti kamu,
“Mas
bukan anak presiden, anak menteri, anak pejabat, anak orang kaya. Mas tahu dulu
bukan hanya mas yang menginginkan kamu menjadi pendamping hidup. Banyak lelaki
yang pasti jauh lebih mapan dari mas, iya toh?” kutatap kedua matanya yang
belo.
“Bukan
aku yang milih kamu, mas. Allah yang pilihin kamu buat aku. Bukankah jika Allah
menghendaki kedua orang untuk bersama, Dia akan memberikan rasa pada keduanya?
“Aku
juga bahagia hidup dengan kamu. Belum tentu aku sebahagia ini kalau sekarang
aku menikah dengan mereka yang waktu itu lebih mapan dari kamu, mas…
“Kamu
yang terbaik akhlaknya diantara mereka, mas. Kamu selalu ingetin aku sama
Allah. Bersamamu, aku semakin dekat dengan Allah. Meskipun tidak semua yang aku
inginkan ada di kamu, tapi kamu punya semua yang aku butuhkan, mas..” katanya.
Melelehlah
sudah hatiku, ingin sekali aku memeluknya saat itu tapi aku malu kalau ada yang
lihat. Ya…meskipun halaman rumahku di pagar, tetap saja kalau Pak RT lewat
beliau tetap bisa lihat.
“Pak,
flashdisk yang kemarin bapak pinjam mana? Mau Rena pakai.” Tanpa permisi Rena
putriku tiba-tiba muncul dari dalam rumah.
Spontan
aku melepas genggaman tanganku, menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Kulihat istriku
hanya senyum-senyum. Iya sepertinya aku terlihat culun sekali. Kuteguk lagi
kopi hitam di cangkir putih itu.
“Iya
ada di kamar, sebentar bapak ambilkan..” aku beranjak, setelah menyunggingkan
senyum pada cantikku.
“Aduh,
nak ! kau mengganggu saja...” omelku dalam hati.
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
Bikin pengen jomblo nih ceritanya
ReplyDeletehaha khayalan jomblo An, lebih tepatnya
ReplyDeleteSo sweet....
ReplyDeletemakasih Mbak Nindyah dah mampir :)
ReplyDelete