ketika aku memilih berbicara lewat tulisan...

Thursday, March 31, 2016

Part 1



Hujan sempurna membasahi sekujur tubuhku. Enggan menunda barang lima menit saja, pasti aku tak akan kehujanan. Sejak aku keluar kantor langit memang sudah menampakkan tanda akan turunnya hujan. Namun aku berdoa semoga hujan sudi menunggu hingga aku sampai di rumah. Namun apalah daya. Hanya butuh sepuluh detik, tubuhku akhirnya basah kuyup karena hujan turun dengan derasnya tepat di pengkolan dekat rumah.
Aku bergegas kedalam rumah setelah memarkirkan sepeda motor di teras. Kubuka pintu yang ternyata tidak dikunci, ternyata kedua orang tuaku ada di ruang tamu. Alih-alih cemas melihat putrinya basah kuyup, kedua orang tuaku justru tersenyum menatapku. Mereka kemudian saling tatap, tak lama ibu bangkit dan memelukku.
            “Tadi ada tamu, Nak.” Kata Ibu.
            “Siapa, Bu?” aku melepas pelukan ibu, kasihan kalau lama-lama nanti ibu kedinginan.
            “Perwira,” sahut Bapak.
            “Perwira? Maksudnya?” aku bingung.
            “Teman kamu,” jawab Bapak.
“Tidak ada temanku yang bernama Perwira, Pak.” Aku mencoba memutar memori   otakku. Tapi tetap tak kutemukan nama Perwira dalam daftar nama orang yang aku kenal.
            “Kalau Gagah Perwira tahu?” Ibu mendekap lembut kedua lenganku, dahiku
            mengkerut.
            “Sini sebentar, Nak.” Bapak menyuruhku duduk di sampingnya. Kedua orang tuaku
            sepertinya tak sadar anaknya sedang basah kuyup.
            “Ini proposal ta’aruf dari Gagah Perwira.” Kata Bapak.
Meskipun agak kaget karena baru kali ini aku menerima proposal ta’aruf, tapi hatiku biasa saja. Nama Gagah memang mengingatkanku pada seseorang, tapi aku tak tahu siapa Gagah Perwira. Kubuka amplop besar di tanganku. Ada beberapa lembar kertas, kuraih sebuah foto di dalamnya.
            Tiga detik menatap foto itu, aku sempurna mematung. Jantungku serasa berhenti berdetak. Tak sadar tanganku bergetar (mungkin karena kedinginan), mataku perih (mungkin kelilipan). Aku memeluk ibu, menangis. Ibu mendekapku semakin erat.

*BERSAMBUNG…
(belum kasih judul hihi)


#OneDayOnePost



Read More

Wednesday, March 30, 2016

Tuhan tersenyum saat aku menangis



Tuhan tersenyum saat aku menangis

            Matahari begitu terik, aku menepi bersama motor “bebek” ku. Duduk di bawah rindangnya pohon. Berkali-kali kutelan tenggorokanku yang kering. Sebuah undangan pernikahan yang ternyata ada di tas pun akhirnya kupakai untuk mengusir gerah. Kugoyangkan bolak-balik tepat di depan wajahku.
            Aku tak peduli jika orang-orang yang berlalu lalang mungkin menatapku aneh. Aku bingung, sedih, galau, pusing, hampir putus asa. Sudah tiga bulan menganggur. Padahal sudah lebih dari sekodi lamaran kusebar. Tapi, nihil. Sempat dipanggil interview di sebuah tempat distributor. Tapi ternyata temanku lebih beruntung. Dia yang diterima kerja. “Kau…harusnya memilih aku…” itu lagu yang sempat aku nyanyikan dalam hati saat gagal  
Sempat juga mendapat panggilan oleh sebuah radio. Panggilan pertama hanya test voice. Kira-kira layak kah suara merduku masuk dapur siaran? Sempat sangat berharap aku lolos, karena kesan pertama masuk ruang siaran aku sangat excited. Tapi setelah menunggu dua minggu aku tak juga mendapat kabar panggilan. Well. It’s mean aku gagal (lagi).
Kulupakan sejenak kegagalan itu ketika tiba-tiba nada BBM berdering di handphoneku. PING...klung...klung…kurang lebih seperti itu bunyinya. Sejenak aku terdiam, tak lama senyum merekah dibibirku. Alhamdulillah…aku baru saja mendapat kabar dari seorang teman yang aku kenal saat test voice di radio. Dia lolos, hanya saja aku baru tahu dari dia kalau ternyata di sana tidak boleh memakai jilbab. Di luar boleh memakai jilbab. Tapi saat siaran tidak boleh, begitu katanya. Entah apa alasannya, yang pasti aku sangat bersyukur. Aku jadi gak galau lagi gagal jadi penyiar di sana.
Aku bangkit, tersenyum. Namun tak lama aku meringis, lapar. Tanpa menunggu lama aku kembali meluncur dengan si “bebek”. Dalam perjalanan aku terus mengucap syukur. Semakin bersyukur ketika kuingat bahwa temanku yang bekerja di distributor pun merasa tidak nyaman karena atasannya non muslim. Dia sulit ketika hendak sholat.
Sempat berfikir jika Tuhan mungkin marah kepadaku. Kenapa aku tidak semudah teman-temanku saat mencari kerja. Ternyata selama ini Tuhan tersenyum saat aku “mengemis” di hadapan-Nya. Terimakasih Allah, kuyakin Engkau akan memberi yang terbaik untukku di waktu yang tepat. Mudah-mudahan tak lama lagi, aamiin…



#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
Read More

Friday, March 25, 2016

Dunia 30 puluh tahun lagi

Gak sengaja barusan nonton channel di salah satu stasiun tivi swasta. Di sana menampilkan 7 teknologi dalam film yang sudah tercipta secara nyata. Waw ! Saya benar-benar takjub. Walaupun sebenarnya saya tidak begitu mengikuti film, apalagi film luar negri. Bagaimana tidak takjub? Hal-hal fiktif dalam film nyatanya mampu direalisasikan dengan teknologi.
Sebuah sepatu merk ternamaan dunia berhasil menciptakan sepatu yang bisa merekat sendiri setelah kaki kita dimasukkan. Gak tau dah tadi bagaimana caranya? Pakai teknologi apa, emtahlah. Saya terlalu fokus sama gambar di tivi (hihi..)
Ada juga tadi baju iron man. Nah loh ! Ada gitu ya yang bisa merealisasikan ide dalam film itu. Jadi bajunya bisa bikin terbang sekitar 30 menit. Gak tau sih di film kayak apa. Saya gak nonton filmnya sih (peace ! )
Terus ada lagi yang bisa nyiptain motor sama mobil terbang. Motor sama mobilnya keren men. Modelnya belum pernah ada. Gak kayak yang ada di pasaran. Pokoknya canggih banget.
Hmm..apa lagi tadi ya? Oh ya, semacam sarung tangan gitu. Tapi bukan bahan kain. Itu bisa mancarin sinar gitu bikin benda-benda ancur. Deuh ! Whatever itu lah namanya. Tapi yang satu ini cukup bahaya karena bisa membuat korek api terbakar. Hmfht..bener-bener kayak di film pokoknya.
Ada lagi kayak semacam baju tapi dari bahan kayak robot gitu. Itu gak kalah huebat ! Bisa angkat beban berat. Ngancurin barang-barang. Serem juga yaa.
Ada lagi yang berhasil menciptakan teknologi. Ini lebih keren dari touchscreen. Karena untuk mengaplikasi perintah cukup dengan gestur badan. Wiw ! Bukan maenn..
Dan terakhir, ada satu alat mungil yang bisa digunakan untuk mendeteksi penyakit. Cukup di tempel di dahi. Kurang dari 10 detik penyakit yang di derita sudah muncul di layar android. Iya jadi alat itu kayak pakai aplikasi gitu di android.
Fiuhh...*tariknapas
Jadi ingat novel "Hujan" nya Tere Liye. Udah pada baca kan? Gimana kalau apa yang di tulis Tere Liye di novel benar-benar terjadi. Hii...serem yaa. Entahlah, akan seperti apa dunia ini 30 tahun lagi. Tapi semoga bumi masih mau bersahabat dengan kita yaa.
Well, segitu aja tulisanku ini. Maaf kalau gak rapi. Ini pertama kali nge-blog pakai hape. See you bye...


#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

Read More

Wednesday, March 23, 2016

Bumi Impian



Kampus STAN-Bintaro

“Aku mau resign, Mas…
 “Ini kesempatan terakhirku. Tahun depan aku sudah tidak bisa lagi mencobanya, ada batasan umur di sana,” ucapku kepada Mas Kun, senior aku di tempat kerja.
“Jujur aku shock mendengar keputusanmu, dek ul. Tapi kalau memang itu sudah menjadi pilihanmu, aku cuma bisa mendo’akan semoga kamu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan,” balasnya.
“Makasih, Mas…” Aku berkaca-kaca, ada sedikit sesak di dada.
“Nanti aku bantu ngomong ke Pak Samsul,” kata Mas Kun.
Mas Kun sudah seperti kakakku, tak jarang aku bercerita banyak hal kepadanya. Bahkan untuk masalah ini pun, dia orang pertama di tempat kerja yang kuberi tahu.
Sebenarnya kontrak kerjaku masih enam bulan lagi. Tapi aku memutuskan resign, aku ingin fokus belajar untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi kedinasan impianku. Waktu belajarku hanya tiga minggu waktu itu. Aku merasa waktuku sangat terbatas. Kalau aku masih bekerja, tentu itu sangat tidak efektif. Belum lagi kalau aku harus lembur di hari minggu. Kapan aku belajar? Pikirku waktu itu.
Keputusan yang tidak mudah, apalagi setelah berita resign aku menyebar ke semua teman-teman kerja di divisiku. Banyak dari mereka yang menyarankan agar aku resign setelah aku dinyatakan diterima saja. Ya, aku sadar kalau nanti aku gagal itu berarti aku akan jadi pengangguran.
Salah satu sanak saudaraku bahkan sempat bilang kalau aku itu tidak pintar-pintar banget. Gak usah mimpi tinggi-tingi, katanya. Di sana itu kampusnya orang-orang cerdas. Ya Allah…sejujurnya itu kalimat yang sangat menyakitkan. Aku bukannya tidak tahu diri. Ya, aku tahu ucapan saudaraku itu benar. Tapi, bukankah lebih baik jika “beliau yang terhormat dan berpendidikan” tidak mengucapkan kalimat itu? Hmmftt *Emot lesu ada keringat di dahi.
Sudahlah, saat itu aku tidak mau berlarut-larut memikirkannya. Yang terpenting aku sudah mendapatkan restu dari kedua orangtuaku untuk resign dan mengikuti tes masuk kampus impianku.
Kebahagiaan yang luar biasa saat aku menginjakkan kaki di kampus impian yang sering kusebut sebagai bumi impian itu. Aku bahagia, sangat bahagia, sungguh. Meskipun aku menginjakkan kaki di sana hanya untuk melakukan proses verifikasi berkas dan mengambil nomor ujian.
Tanggal 21 Juli 2013 aku akhirnya mengikuti tes seleksi. Saat itu bulan Ramadhan, aku ingat sekali. Dan meskipun hasilnya aku memang gagal, tapi aku bahagia. Setidaknya aku sudah pernah memperjuangkan apa yang sempat menjadi mimpiku. Lebih baik gagal daripada tidak mencoba sama sekali, itu prinsipku waktu itu. Maafkan aku Ma, pa… :’)
Tepat satu bulan setelahnya, tanggal 21 Agustus 2013 aku mendapatkan panggilan tes sebuah perusahaan otomotif. Allah mengganti kegagalanku. Allah bayar semuanya dengan diterimanya aku di salah satu perusahaan otomotif terbesar di kelasnya. Alhamdulillah…
Allah memang tidak memberi apa yang aku inginkan. Tapi Allah memberi yang aku butuhkan. Mungkin menurut Allah aku lebih butuh pekerjaan ini, terimakasih ya Allah :’)


#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
Read More

© Liana's Blog, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena