ketika aku memilih berbicara lewat tulisan...

Friday, February 5, 2016

Dear, broken heart


           Cuaca pagi ini sebenarnya cerah banget. Cocok buat jogging keliling komplek. Menikmati udara pagi yang sehat. Tapi kayaknya itu gak berlaku buat orang yang lagi patah hati. Yap ! broken heart katanya sih. Prihatin sekaligus sebel sebenarnya. :Prihatin karena orang yang lagi patah hati adalah adikku sendiri. Dan sebel karena udah hampir setengah tahun masa iya gak move on juga sih !
          “Patah hati sih patah hati, tapi gak berarti harus ngurung diri terus juga kali,
          “Mau sampai kapan, dek?” ucapku pada Wanti.
          “Gak tau, mbak.” Jawab Wanti singkat.
          “Udah deh, mending kamu ikut mbak jogging yuk,” ajakku.
          Wanti menggeleng, aku menelan ludah. Ya Tuhan…menakutkan sekali efek samping patah hati. Bisa membuat orang kehilangan mood sampai hampir enam bulan. Bisa menurunkan nafsu makan, sedih berkepanjangan. Mohon jauhkan aku dari bahaya patah hati. Aku berdo’a dalam hati.
***
          “Dek, coba lihat mbak bawa apa buat kamu,” aku sumringah.
          “Apa?” jawab Wanti tanpa ekspresi.
          “Kebab duren kesukaan kamu,” aku meringis sambil menyodorkan bungkusan berisi kebab duren favorit adikku itu. Wanti tersenyum, kecut.
          “Dek, kamu mau sampai kapan kayak gini?” Ini pertanyaan serupa yang entah sudah berapa kali aku tanyakan kepadanya.
          “Mbak, kenapa Tuhan membiarkan aku jatuh cinta pada orang yang salah? Aku sayang sama Deni. Aku sudah berharap akan menikah dengan dia. Tapi ternyata orang yang aku sayang malah mengecewakan aku. Membiarkan aku sendiri bersama semua kenangan bersamanya.” Wanti mulai membuka suara, masih tanpa ekspresi. Tampaknya ada luka yang dalam di hatinya.
          Pertanyan yang sulit untuk kujawab. Tuhan…bagaimana mungkin aku berbicara tentang cinta, menasehati orang yang sedang patah hati. Cinta? Patah hati? Makanan macam apa itu? Aku sungguh tak mengerti. Aku memang kuper, tidak seperti Wanti. Sejak SMP aku membatasi diri bergaul dengan lawan jenis. Aku tidak terlalu suka berbaur dengan mereka, kecuali hal-hal mendesak saja. Aku sendiri tak tahu alasannya, mungkin karena aku minder dengan wajahku yang pas-pasan.
          “Kamu yakin mau dengerin nasehat mbak, dek? Mbak gak pernah pacaran loh. Tapi kalau suka-suka dikit sih yaa pernah.” Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
          “Tuhan mengijinkan kamu jatuh cinta pasti ada alasannya, dek. Meskipun seharusnya kamu mampu menahan rasa itu. Rasa yang tidak seharusnya kau pupuk untuk orang yang belum halal. Suatu hari kamu akan bersyukur, karena kamu akan Tuhan pertemukan dengan orang yang lebih baik     .
          “Kamu tahu kenapa kamu kecewa? Karena kamu sudah menduakan Allah. Kamu sudah berharap kepada selain Allah. Allah itu sangat pencemburu. Jika saat ini Allah menjauhkanmu dengan Deni, itu berarti Allah sayang sama kamu. Allah pengin kamu kembali hanya berharap kepada-Nya.” Aku menarik nafas pelan.
          “Allah tidak pernah melarang hamba-Nya jatuh cinta, tapi cinta itu fitrah dan islam sudah mengaturnya. Bagaimana dua insan yang saling jatuh cinta, jalan keluarnya hanya satu. Menikah, bukan pacaran.
          “Mbak tahu kamu gak akan pernah bisa lupa semua tentang Deni. Tapi kalau kamu benar-benar ikhlas menerima ketentuan-Nya, insya Allah hari-hari kamu ke depan akan lebih baik.” Aku menggenggam erat tangan Wanti.
          Adik perempuanku satu-satunya itu menangis. Butir demi butir air mata membasahi pipinya. Dalam hati aku terus berdo’a semoga esok dia akan mengerti bahwa lelaki yang sungguh menyayanginya hanya akan membuktikan cinta lewat pernikahan. 


#OneDayOnePost
#FebruariMembara
#5 Feb


2 komentar:

© Liana's Blog, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena