ketika aku memilih berbicara lewat tulisan...

Monday, February 15, 2016

Terimakasih telah melepasku



“Secepatnya aku akan melamarmu,” ucap lelaki yang saat ini berdiri di sampingku.  Aku hanya menunduk, menyembunyikan wajahku. Meskipun hanya menganggapnya bergurau, jauh di dalam hatiku tumbuh harapan bahwa esok dia benar-benar akan melakukannya.
“Terimakasih sudah mengantarku pulang,” aku menyodorkan helm. Tahu aku tak akan basa-basi menyuruhnya mampir, dia segera pamit pulang.
Aku merebahkan tubuh di atas kasur yang ada di pojok kamar kontrakan. Kuraih handphone di dalam tas yang saat itu  masih kuletakkan di atas kasur. Selepas mandi dan sholat isya tadi aku belum sempat melihat handphone. Pasti ibu khawatir karena aku belum memberinya kabar.
Benar saja, ada lima pesan dari ibu. Kulirik jam dinding bulat berwarna merah muda. Belum terlalu larut untuk menelfon ibu, baru jam sembilan lewat pikirku.
“Hallo, assalamualaikum…” Ibu mengangkat telefonku.
“Wa’alaikumsalam, Bu” aku meraih boneka doraemon milikku.
“Kamu baru pulang, Nak?” tanya Ibu.
“Sudah dari tadi, Bu. Maaf tadi pulang kerja Nisa langsung mandi terus sholat Bu, tidak sempat buka handphone” jelasku.
“Iya, Nak. Kamu sudah makan?”
“Sudah, Bu”
“Kamu pulang dengan dia lagi?”
“Iya, Bu” jawabku lirih.
“Kamu ada hubungan apa dengan dia, Nak? Kamu pacaran?”
“Tidak, Bu. Nisa tidak pacaran dengan Wira.” tanpa sadar aku meremas boneka doraemon.
“Sebaiknya kamu tidak perlu diantar jemput dia lagi, Nak. Kamu masih bisa naik mobil jemputan karyawan kan?
 “Kalau dia serius menyukaimu, suruh dia datang temui ibu,” ucapan Ibu membuatku tercekat, aku menelan ludah.
            Jam menunjukkan pukul 23.00, tapi aku masih terjaga. Aku benar-benar memikirkan nasehat ibu barusan. Bagaimana aku harus menjelaskannya kepada Wira? Apa mungkin dia siap menemui ibu? Dan apa aku harus menolaknya mengantar dan menjemputku kerja? Aku terlanjur nyaman bersama dia. Ada rasa yang sulit kujelaskan saat ada di dekatnya. Toh, bukan aku yang meminta melakukannya. Itu dia sendiri yang mau. Lagipula kita satu kantor, kurasa itu tak terlalu merepotkannya.
***
            “Nis, aku boleh minta nomor handphone ibu kamu?” ucap Wira saat dia mengantarku pulang.
            “Nomor telefon ibu? Untuk apa?” tanyaku.
            “Aku pengin kenalan sama ibu kamu.” Wira tersenyum.
            Ya Allah…Wira ingin kenalan sama ibu? Apa ini pertanda baik? Benarkah dia serius dengan perasaannya kepadaku? Semoga…
            Aku sungguh bahagia bisa mengenal Wira. Dia sosok yang dewasa, sederhana, dan humoris. Aku nyaman saat bersamanya. Kita tak pernah kehabisan bahan saat mengobrol. Dia selalu punya cara untuk membuatku tertawa.
            Lima bulan setelah Wira meminta nomor telefon ibu, dia mengejutkanku dengan keputusannya menemui ibu di kampung. Kaget bercampur bahagia mengetahui Wira akan melakukannya.
            “Kenapa kamu tidak bicara denganku dulu kalau mau ke Magelang?” tanyaku.
            “Sengaja, biar surprise,” Wira tersenyum memamerkan lesung di pipinya.
            “Memangnya kamu tahu rumahku?”
            “Gampang, aku sudah minta alamat lengkap rumahmu sama ibu. Magelang seluas apa sih? Ada GPS ini, kalau nyasar bisa tanya orang. Lagian aku rela kok nyasar demi kamu, orang yang aku sayang,” Wira menggoda, aku manyun.
            “Genit, sudah sana pulang. Besok hati-hati ya,” aku menyodorkan helm, itu caraku mengusirnya secar halus.
***
Message from : Ibu
At 05:08 AM
Hari ini Wira akan datang menemui ibu. Maafkan ibu tidak memberitahu kamu dari jauh-jauh hari, Nak. Wira meminta ibu untuk tidak menceritakan hal ini kepadamu. Dia ingin memberimu kejutan.
            Aku melayang membaca SMS dari ibu pagi ini. Ternyata wira romantis sekali, pikirku. Semoga ini akan menjadi awal yang baik untuk hubunganku dan Wira. Semoga ibu suka dengan Wira.

Message from : Wira
At 05:40 PM
Aku sudah bertemu dengan ibu. Senang bertemu dengan ibu. Sayang aku tidak bisa berlama-lama. Lain waktu aku main lagi ya. Aku pulang dulu, kalau sudah sampai Jakarta nanti aku kabari lagi.

            Wira sudah bertemu dengan ibu? Ya Allah…bagaimana pertemuan mereka hari ini. Apakah ibu menyukai Wira? Apa yang mereka bicarakan? Tak sabar rasanya aku untuk menelfon ibu. Tapi kuurungkan niatku karena adzan maghrib berkumandang.
            Selepas sholat maghrib, tidak ada pesan dari ibu. Akhirnya kutunda niatku menelfon ibu. Aku lanjut tadarus hingga masuk waktu isya. Ba’da isya tetap tak ada kabar dari ibu. Ada apa dengan ibu? Apa tidak ada yang perlu ibu ceritakan kepadaku? Kuraih telfon genggamku, menghubungi ibu.
            “Haloo Bu, assalamualaikum…”
            “Wa’alaikumsalam…” jawab ibu di seberang sana.
            “Bu, gimana tadi?” aku grogi menanyakannya pada ibu. Ibu menghela nafas, pelan. Suasana lengang sejenak.
            “Sepertinya Wira anak yang baik, sopan. Tapi apa kamu yakin dengan dia, Nak?” tanya ibu.
            “Maksud ibu?” aku bingung dengan pertanyaan ibu.
            “Tadinya ibu pikir Wira akan datang bersama orang tuanya. Menemui ibu untuk menyampaikan niatnya kepadamu. Ternyata dia datang sendiri. Dan kedatangannya tak lebih hanya ingin mengenalkan diri sebagai temanmu.
            “Dia tidak menyampaikan apa-apa tentang niat ke depannya bersamamu. Maafkan ibu kalau harapan ibu terlalu tingi, Nak. Tapi sebaiknya kamu jangan berharap terlalu banyak kepadanya.”
            “Sudah berapa lama kamu dekat dengan Wira?” tanya ibu di akhir kalimatnya.
            “Hampir satu tahun, Bu” jawabku.
            “Pernahkah dia mengenalkan kamu kepada orangtuanya?”
            “Belum,” aku memejamkan mata, menarik nafas berat.

(bersambung....)
#OneDayOnePost
#FebruariMembara
#15 Feb
           

5 komentar:

© Liana's Blog, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena