“Secepatnya
aku akan melamarmu,” ucap lelaki yang saat ini berdiri di sampingku. Aku hanya menunduk, menyembunyikan wajahku.
Meskipun hanya menganggapnya bergurau, jauh di dalam hatiku tumbuh harapan
bahwa esok dia benar-benar akan melakukannya.
“Terimakasih
sudah mengantarku pulang,” aku menyodorkan helm. Tahu aku tak akan basa-basi
menyuruhnya mampir, dia segera pamit pulang.
Aku
merebahkan tubuh di atas kasur yang ada di pojok kamar kontrakan. Kuraih
handphone di dalam tas yang saat itu
masih kuletakkan di atas kasur. Selepas mandi dan sholat isya tadi aku
belum sempat melihat handphone. Pasti ibu khawatir karena aku belum memberinya
kabar.
Benar
saja, ada lima pesan dari ibu. Kulirik jam dinding bulat berwarna merah muda.
Belum terlalu larut untuk menelfon ibu, baru jam sembilan lewat pikirku.
“Hallo,
assalamualaikum…” Ibu mengangkat telefonku.
“Wa’alaikumsalam,
Bu” aku meraih boneka doraemon milikku.
“Kamu
baru pulang, Nak?” tanya Ibu.
“Sudah
dari tadi, Bu. Maaf tadi pulang kerja Nisa langsung mandi terus sholat Bu,
tidak sempat buka handphone” jelasku.
“Iya,
Nak. Kamu sudah makan?”
“Sudah,
Bu”
“Kamu
pulang dengan dia lagi?”
“Iya,
Bu” jawabku lirih.
“Kamu
ada hubungan apa dengan dia, Nak? Kamu pacaran?”
“Tidak,
Bu. Nisa tidak pacaran dengan Wira.” tanpa sadar aku meremas boneka doraemon.
“Sebaiknya
kamu tidak perlu diantar jemput dia lagi, Nak. Kamu masih bisa naik mobil
jemputan karyawan kan?
“Kalau dia serius menyukaimu, suruh dia datang
temui ibu,” ucapan Ibu membuatku tercekat, aku menelan ludah.
Jam menunjukkan pukul 23.00, tapi aku masih terjaga. Aku
benar-benar memikirkan nasehat ibu barusan. Bagaimana aku harus menjelaskannya
kepada Wira? Apa mungkin dia siap menemui ibu? Dan apa aku harus menolaknya
mengantar dan menjemputku kerja? Aku terlanjur nyaman bersama dia. Ada rasa
yang sulit kujelaskan saat ada di dekatnya. Toh, bukan aku yang meminta
melakukannya. Itu dia sendiri yang mau. Lagipula kita satu kantor, kurasa itu
tak terlalu merepotkannya.
***
“Nis, aku boleh minta nomor handphone ibu kamu?” ucap
Wira saat dia mengantarku pulang.
“Nomor telefon ibu? Untuk apa?” tanyaku.
“Aku pengin kenalan sama ibu kamu.” Wira tersenyum.
Ya Allah…Wira ingin kenalan sama ibu? Apa ini pertanda
baik? Benarkah dia serius dengan perasaannya kepadaku? Semoga…
Aku sungguh bahagia bisa mengenal Wira. Dia sosok yang
dewasa, sederhana, dan humoris. Aku nyaman saat bersamanya. Kita tak pernah
kehabisan bahan saat mengobrol. Dia selalu punya cara untuk membuatku tertawa.
Lima bulan setelah Wira meminta nomor telefon ibu, dia
mengejutkanku dengan keputusannya menemui ibu di kampung. Kaget bercampur
bahagia mengetahui Wira akan melakukannya.
“Kenapa kamu tidak bicara denganku dulu kalau mau ke
Magelang?” tanyaku.
“Sengaja, biar surprise,” Wira tersenyum memamerkan
lesung di pipinya.
“Memangnya kamu tahu rumahku?”
“Gampang, aku sudah minta alamat lengkap rumahmu sama
ibu. Magelang seluas apa sih? Ada GPS ini, kalau nyasar bisa tanya orang. Lagian
aku rela kok nyasar demi kamu, orang yang aku sayang,” Wira menggoda, aku
manyun.
“Genit, sudah sana pulang. Besok hati-hati ya,” aku
menyodorkan helm, itu caraku mengusirnya secar halus.
***
Message
from : Ibu
At
05:08 AM
Hari
ini Wira akan datang menemui ibu. Maafkan ibu tidak memberitahu kamu dari
jauh-jauh hari, Nak. Wira meminta ibu untuk tidak menceritakan hal ini kepadamu.
Dia ingin memberimu kejutan.
Aku melayang membaca SMS dari ibu pagi ini. Ternyata wira
romantis sekali, pikirku. Semoga ini akan menjadi awal yang baik untuk
hubunganku dan Wira. Semoga ibu suka dengan Wira.
Message from : Wira
At 05:40 PM
Aku sudah bertemu dengan
ibu. Senang bertemu dengan ibu. Sayang aku tidak bisa berlama-lama. Lain waktu
aku main lagi ya. Aku pulang dulu, kalau sudah sampai Jakarta nanti aku kabari
lagi.
Wira sudah bertemu dengan ibu? Ya Allah…bagaimana
pertemuan mereka hari ini. Apakah ibu menyukai Wira? Apa yang mereka bicarakan?
Tak sabar rasanya aku untuk menelfon ibu. Tapi kuurungkan niatku karena adzan
maghrib berkumandang.
Selepas sholat maghrib, tidak ada pesan dari ibu. Akhirnya
kutunda niatku menelfon ibu. Aku lanjut tadarus hingga masuk waktu isya. Ba’da
isya tetap tak ada kabar dari ibu. Ada apa dengan ibu? Apa tidak ada yang perlu
ibu ceritakan kepadaku? Kuraih telfon genggamku, menghubungi ibu.
“Haloo Bu, assalamualaikum…”
“Wa’alaikumsalam…” jawab ibu di seberang sana.
“Bu, gimana tadi?” aku grogi menanyakannya pada ibu. Ibu
menghela nafas, pelan. Suasana lengang sejenak.
“Sepertinya Wira anak yang baik, sopan. Tapi apa kamu
yakin dengan dia, Nak?” tanya ibu.
“Maksud ibu?” aku bingung dengan pertanyaan ibu.
“Tadinya ibu pikir Wira akan datang bersama orang tuanya.
Menemui ibu untuk menyampaikan niatnya kepadamu. Ternyata dia datang sendiri. Dan
kedatangannya tak lebih hanya ingin mengenalkan diri sebagai temanmu.
“Dia tidak menyampaikan apa-apa tentang niat ke depannya
bersamamu. Maafkan ibu kalau harapan ibu terlalu tingi, Nak. Tapi sebaiknya
kamu jangan berharap terlalu banyak kepadanya.”
“Sudah berapa lama kamu dekat dengan Wira?” tanya ibu di
akhir kalimatnya.
“Hampir satu tahun, Bu” jawabku.
“Pernahkah dia mengenalkan kamu kepada orangtuanya?”
“Belum,” aku memejamkan mata, menarik nafas berat.
(bersambung....)
#OneDayOnePost
#FebruariMembara
#15 Feb
Ah dasar lelaki :v
ReplyDeleteWira nih suka ngePHPin aja..
ReplyDeleteBelum punya modal si wira...
ReplyDeleteBelum punya modal si wira...
ReplyDeletehahaha :D
ReplyDelete