Sore itu langit nampak
indah dengan hiasan pelangi, dedaunan pun masih nampak basah sepeninggal hujan
reda. Tapi aku tak mampu menikmati keindahan Tuhan sore itu. Aku masih termangu
di kamar, menyaksikan anak-anak kecil berangkat TPQ dari jendela. Menyenangkan
memang, teringat sepuluh tahun yang lalu saat aku masih seusia mereka. Tapi
bukan itu yang sedang aku pikirkan, bukan itu yang membuat aku memilih dikamar
seusai sholat ashar.
Ini tentang Gagah. Ya,
ini tentang kejadian di depan rumah sebelum dia beranjak pulang seusai
mengantarku. Gagah menyukaiku, dia menyayangiku. Ya, dia mengutarakan semua
perasaannya kepada ku. Aku bingung, aku hanya menunduk saat itu. Sejenak,
semuanya tiba-tiba hening. Aku tak tau apa yang Gagah lakukan. Apa dia terus
menatapku, apa dia menatap jalanan yang lengang saat itu. Entahlah, aku terus
saja menunduk. Hingga ku dengar dia menghela nafas panjang.
“Maafkan aku Nis, kamu
tak harus menjawabnya sekarang. Aku akan nunggu sampai kamu siap.” Ucapnya
sambil tersenyum. Saat itu aku beranikan diri menatap wajahnya.
“Aku pulang dulu.
Assalamualaikum…” Gagah berlalu, bayangannya sudah tak terlihat lagi.
Gagah sahabatku. Aku memang baru mengenalnya
awal kelas tiga. Dia pindahan dari luar kota. Tapi kami cukup dekat. Kami
sering menghabiskan waktu bersama untuk belajar kelompok, mengisi liburan,
bermain, diskusi masalah sekolah, juga tentang mimpi-mimpi kami kedepan.
Saat aku rindu ayah dan
ibu, tak jarang Gagah yang menjadi pendengar sekaligus pemberi semangat. Ya,
aku yatim piatu sejak usia 7 tahun. Sejak saat itu, aku diasuh oleh kakek dan
nenek. Tapi, nenek juga pergi saat aku lulus SMP. Kini, aku hanya tingggal
berdua dengan kakek. Kami berdua saling menyayangi. Kami lewati hari demi hari
berdua. Suka maupun duka kami syukuri. Aku selalu cerita semuanya kepada kakek.
Kakek punya usaha peternakan. Kakek lebih sering menghabiskan waktunya untuk
mengurus usahanya itu. Mungkin karena itulah satu-satunya sumber penghidupan
kami saat ini.
*******
Keesokan harinya…
Oh no ! Gagah ! Dia menjemputku. Hampir saja aku ingin membalikkan badan
kemudian segera kembali masuk kedalam. Tapi, itu tentu tak mungkin. Aku
tersenyum, dengan susah payah aku berusaha bersikap seperti biasa.
“Sorry agak telat Nis,
motornya tadi ngadat.”
“Iya gapapa, kirain gak
jemput hehehe…” Aku berusaha bercanda meskipun aku sadar ini kaku sekali
kelihatannya.
Aku gak nyangka Gagah akan tetap menjemput aku setelah kejadian itu. Dia
bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa diantara kita. Syukurlah, aku senang
dengan sikapnya ini.
Di sekolah pun Gagah
bersikap seperti biasa, dia tak berubah sedikitpun. Aku lega, berharap dia
tak mengungkit hal itu lagi.
*******
Seiring
waktu berlalu, tak ada yang berubah. Gagah tak pernah membahas kejadian itu
lagi. Aku senang dan mulai melupakannya. Hari-hari masih sering ku habiskan
bersama Gagah. Seperti siang ini. Panasnya terik tak mengurangi keceriaan kami.
Gagah melaju dengan motor bebeknya dan aku tetap menjadi penumpang setianya.
Aku tak mampu menahan tawa tiap kali dia menceritakan hal-hal konyol yang
mungkin sebenarnya tak penting, tapi bagiku itu tetap menyenangkan. Mungkin itu
salah satu sebab mengapa aku tak pernah bosan saat bersamanya.
“Okesip,
thanks yaa…” Ucapku sambil melepas helm.
Gagah tersenyum, dia menatapku. Terlihat serius, dan
aku mulai tegang entah kenapa.
“Langsung
pulang kan? Gak mampir kan? Hehe…” Aku coba mengajaknya bercanda.
“Waktu
yang sama, hari yang sama, tanggal yang sama, tempat yang sama. Tiga bulan yang
lalu…” Gagah mulai berbicara.
“Nisa,
aku sayang kamu. Tiga bulan yang lalu, disini. Didepan rumah kamu, sudah aku
ungkapkan semua. Dan aku juga berjanji akan menunggu sampai kamu siap menjawabnya.
Selama ini aku diam bukan karena aku lupa atau ingin melupakannya. Aku biarkan
kamu berfikir, akupun sama. Aku juga memikirkan semua ucapanku. Aku coba
meyakinkan perasaan aku, apa benar aku menyayangimu. Dan kali ini, aku kembali
mengungkapkan semua Nis. Aku semakin yakin dengan perasaan aku. Aku sayang kamu
Nis. Aku mencintai kamu. Apa kamu sudi mengisi hati aku Nis?” Gagah masih
menatapku, aku juga menatapnya namun menunduk sesekali.
“A…ak..aku…gak
bisa jawab sekarang, maaf.”
“Aku
masih harus menunggu lagi Nis? Berapa lama lagi nis?”
Aku diam, bingung, gugup. Ingin sekali rasanya punya
ilmu menghilang seketika seperti jin-jin disinetron-sinetron. Ahh…tapi itu
mustahil, konyol. Aku tetap menunduk, memperhatikan sepatu hitam bertali yang
Gagah pakai.
“Yaudah,
aku pulang ahh…udah siang, laper. Lagian gak disuruh mampir sih.
Assalamualaikum…” Katanya sambil memakain helm dan tancap gas berlalu.
Seketika Gagah berubah, kembali ceria seolah tak terjadi apa-apa. Gagah oh
Gagah… Gagah yang aneh.
*******
Oh Tuhan…untuk apa aku
mengingat semua itu? Semua itu sudah berlalu, tujuh tahun yang lalu. Bukan aku
tak ingin melupakannya, tapi memang aku tak mampu melupakan semua itu. Tujuh
tahun yang lalu, aku tak menyangka itu terakhir kalinya Gagah mengungkapkan
perasaannya. Setelah itu dia seolah bungkam. Entahlah, aku tak tau seberapa
berarti aku untuknya. Tapi yang aku tau, aku mencintainya, dulu…sekarang…dan
nanti.
Aku memilih diam sebab
aku merasa butuh waktu. Tak ingin terburu – buru dalam hal perasaan. Meski saat
itu aku tau, aku tak mau kehilangannya. Aku tak mampu, bahkan mungkin tak akan
pernah mampu kehilangan dia. Seiring berjalannya waktu dan jarak yang
memisahkan ternyata aku masih mencintainya.
Ya, perasaan itu tak
berkurang sedikitpun. Bahkan meski aku tak pernah lagi berjumpa dengannya sejak
lulus SMA, tak pernah lagi ada komunikasi dengannya meski hanya sebatas sms
atau e-mail. Aku bahkan tak punya nyali untuk sekedar menghubunginya, mencoba
membunuh rasa penasaran apa nomornya yang dulu masih aktif. Entahlah…maafkan
aku Tuhan.
*******
Hari ini cerah,
sayangnya tak ada jadwal praktek . Jadwal bertemu dengan pasien juga tak ada.
Tapi hari ini adalah hari istimewa untukku, ehm untuk dia sebenarnya. Hari ini
Gagah ulang tahun, 11 januari. Aku sudah duduk di pantai sejak pagi.
Menyaksikan sunrise, memakai kaos yang yang dulu aku beli bersama Gagah di
Jogja. Kaos yang seharusnya dia juga masih menyimpannya. Tidak mau tahu apa kaos
itu masih muat atau tidak dia pakai, semoga dia masih menyimpannya.
“Sudah empat jam dokter
disini, apa dokter sudah lupa dengan pasien pasien kesayangannya?” Ucap seorang
laki – laki tiba – tiba.
Belum sempurna aku menoleh, laki – laki itu sudah berdiri tepat
disampingku. Wajah itu, tatapan itu, senyuman itu, aroma parfum itu, dan…kaos
itu persis dengan yang sedang aku pakai. Aku sempurna bungkam, nyaris tak
sadarkan diri.
Dengan sisa kekuatan
aku coba bertahan. Wajah yang sangat aku kenali, tak banyak berubah. Meski
terlihat lebih dewasa dan tatapannya masih seperti dulu, selalu membuatku
damai. Wajah yang setiap jengkal nafas aku rindukan.
“Tujuh tahun lebih,
banyak hal yang seharusnya kau tahu.” Ucapnya, aku masih bungkam.
“Tenang saja, sebentar
lagi aku akan beritahu semuanya.” Dia tersenyum lembut.
“Aku rasa ini saatnya.
Sudah lama aku mencintainya. Sejak aku mencintainya, tak pernah sedikitpun rasa
itu berkurang. Sedikitpun, meski dia bungkam. Meski jarak dan waktu telah
memisahkan, tapi aku tetap mencintainya. Sebab ku tahu, dia juga begitu
mencintaiku. Aku akan menikahinya, nanti malam aku akan datang ke rumahnya.
Menemui kakeknya, membicarakan rencana pernikahan ku dengannya. Jadi, bu dokter
sebaiknya dandan yang cantik.” Gagah berlalu, meninggalkan senyumannya
dibenakku.
Satu, dua, tiga, empat,
lima, enam, tujuh detik…air mata ini sempurna membasahi pipiku. Apa ini Tuhan? Tujuh
tahun yang menyakitkan, Tujuh tahun yang menyesakkan, Tujuh tahun yang membuat
hati ini lumpuh tak mampu tersentuh oleh lelaki manapun. Mungkinkah do’a –
do’aku selama tujuh tahun ini telah membuncah menembus kerajaan-Mu? Entahlah,
mungkin aku berlebihan. Aku tak tahu bagaimana Kau mengaturnya.
Alhamdulillah…puji syukur kehadirat-Mu.
#OneDayOnePost
#FebruariMembara
#18 Feb
0 komentar:
Post a Comment