ketika aku memilih berbicara lewat tulisan...

Saturday, February 20, 2016

Tuhan, dia yang kucinta



             Sore itu langit nampak indah dengan hiasan pelangi, dedaunan pun masih nampak basah sepeninggal hujan reda. Tapi aku tak mampu menikmati keindahan Tuhan sore itu. Aku masih termangu di kamar, menyaksikan anak-anak kecil berangkat TPQ dari jendela. Menyenangkan memang, teringat sepuluh tahun yang lalu saat aku masih seusia mereka. Tapi bukan itu yang sedang aku pikirkan, bukan itu yang membuat aku memilih dikamar seusai sholat ashar.
            Ini tentang Gagah. Ya, ini tentang kejadian di depan rumah sebelum dia beranjak pulang seusai mengantarku. Gagah menyukaiku, dia menyayangiku. Ya, dia mengutarakan semua perasaannya kepada ku. Aku bingung, aku hanya menunduk saat itu. Sejenak, semuanya tiba-tiba hening. Aku tak tau apa yang Gagah lakukan. Apa dia terus menatapku, apa dia menatap jalanan yang lengang saat itu. Entahlah, aku terus saja menunduk. Hingga ku dengar dia menghela nafas panjang.
            “Maafkan aku Nis, kamu tak harus menjawabnya sekarang. Aku akan nunggu sampai kamu siap.” Ucapnya sambil tersenyum. Saat itu aku beranikan diri menatap wajahnya.
            “Aku pulang dulu. Assalamualaikum…” Gagah berlalu, bayangannya sudah tak terlihat lagi.
             Gagah sahabatku. Aku memang baru mengenalnya awal kelas tiga. Dia pindahan dari luar kota. Tapi kami cukup dekat. Kami sering menghabiskan waktu bersama untuk belajar kelompok, mengisi liburan, bermain, diskusi masalah sekolah, juga tentang mimpi-mimpi kami kedepan.
            Saat aku rindu ayah dan ibu, tak jarang Gagah yang menjadi pendengar sekaligus pemberi semangat. Ya, aku yatim piatu sejak usia 7 tahun. Sejak saat itu, aku diasuh oleh kakek dan nenek. Tapi, nenek juga pergi saat aku lulus SMP. Kini, aku hanya tingggal berdua dengan kakek. Kami berdua saling menyayangi. Kami lewati hari demi hari berdua. Suka maupun duka kami syukuri. Aku selalu cerita semuanya kepada kakek. Kakek punya usaha peternakan. Kakek lebih sering menghabiskan waktunya untuk mengurus usahanya itu. Mungkin karena itulah satu-satunya sumber penghidupan kami saat ini.
*******
Keesokan harinya…
Oh no ! Gagah ! Dia menjemputku. Hampir saja aku ingin membalikkan badan kemudian segera kembali masuk kedalam. Tapi, itu tentu tak mungkin. Aku tersenyum, dengan susah payah aku berusaha bersikap seperti biasa.
            “Sorry agak telat Nis, motornya tadi ngadat.”
            “Iya gapapa, kirain gak jemput hehehe…” Aku berusaha bercanda meskipun aku sadar ini kaku sekali kelihatannya.
Aku gak nyangka Gagah akan tetap menjemput aku setelah kejadian itu. Dia bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa diantara kita. Syukurlah, aku senang dengan sikapnya ini.
            Di sekolah pun Gagah bersikap seperti biasa, dia tak berubah sedikitpun. Aku lega, berharap dia tak  mengungkit hal itu lagi.
*******
            Seiring waktu berlalu, tak ada yang berubah. Gagah tak pernah membahas kejadian itu lagi. Aku senang dan mulai melupakannya. Hari-hari masih sering ku habiskan bersama Gagah. Seperti siang ini. Panasnya terik tak mengurangi keceriaan kami. Gagah melaju dengan motor bebeknya dan aku tetap menjadi penumpang setianya. Aku tak mampu menahan tawa tiap kali dia menceritakan hal-hal konyol yang mungkin sebenarnya tak penting, tapi bagiku itu tetap menyenangkan. Mungkin itu salah satu sebab mengapa aku tak pernah bosan saat bersamanya.
            “Okesip, thanks yaa…” Ucapku sambil melepas helm.
Gagah tersenyum, dia menatapku. Terlihat serius, dan aku mulai tegang entah kenapa.
            “Langsung pulang kan? Gak mampir kan? Hehe…” Aku coba mengajaknya bercanda.
            “Waktu yang sama, hari yang sama, tanggal yang sama, tempat yang sama. Tiga bulan yang lalu…” Gagah mulai berbicara.
            “Nisa, aku sayang kamu. Tiga bulan yang lalu, disini. Didepan rumah kamu, sudah aku ungkapkan semua. Dan aku juga berjanji akan menunggu sampai kamu siap menjawabnya. Selama ini aku diam bukan karena aku lupa atau ingin melupakannya. Aku biarkan kamu berfikir, akupun sama. Aku juga memikirkan semua ucapanku. Aku coba meyakinkan perasaan aku, apa benar aku menyayangimu. Dan kali ini, aku kembali mengungkapkan semua Nis. Aku semakin yakin dengan perasaan aku. Aku sayang kamu Nis. Aku mencintai kamu. Apa kamu sudi mengisi hati aku Nis?” Gagah masih menatapku, aku juga menatapnya namun menunduk sesekali.
            “A…ak..aku…gak bisa jawab sekarang, maaf.”
            “Aku masih harus menunggu lagi Nis? Berapa lama lagi nis?”
Aku diam, bingung, gugup. Ingin sekali rasanya punya ilmu menghilang seketika seperti jin-jin disinetron-sinetron. Ahh…tapi itu mustahil, konyol. Aku tetap menunduk, memperhatikan sepatu hitam bertali yang Gagah pakai.
            “Yaudah, aku pulang ahh…udah siang, laper. Lagian gak disuruh mampir sih. Assalamualaikum…” Katanya sambil memakain helm dan tancap gas berlalu.
Seketika Gagah berubah, kembali ceria  seolah tak terjadi apa-apa. Gagah oh Gagah…  Gagah yang aneh.
*******
            Oh Tuhan…untuk apa aku mengingat semua itu? Semua itu sudah berlalu, tujuh tahun yang lalu. Bukan aku tak ingin melupakannya, tapi memang aku tak mampu melupakan semua itu. Tujuh tahun yang lalu, aku tak menyangka itu terakhir kalinya Gagah mengungkapkan perasaannya. Setelah itu dia seolah bungkam. Entahlah, aku tak tau seberapa berarti aku untuknya. Tapi yang aku tau, aku mencintainya, dulu…sekarang…dan nanti.
            Aku memilih diam sebab aku merasa butuh waktu. Tak ingin terburu – buru dalam hal perasaan. Meski saat itu aku tau, aku tak mau kehilangannya. Aku tak mampu, bahkan mungkin tak akan pernah mampu kehilangan dia. Seiring berjalannya waktu dan jarak yang memisahkan ternyata aku masih mencintainya.
            Ya, perasaan itu tak berkurang sedikitpun. Bahkan meski aku tak pernah lagi berjumpa dengannya sejak lulus SMA, tak pernah lagi ada komunikasi dengannya meski hanya sebatas sms atau e-mail. Aku bahkan tak punya nyali untuk sekedar menghubunginya, mencoba membunuh rasa penasaran apa nomornya yang dulu masih aktif. Entahlah…maafkan aku Tuhan.
*******
            Hari ini cerah, sayangnya tak ada jadwal praktek . Jadwal bertemu dengan pasien juga tak ada. Tapi hari ini adalah hari istimewa untukku, ehm untuk dia sebenarnya. Hari ini Gagah ulang tahun, 11 januari. Aku sudah duduk di pantai sejak pagi. Menyaksikan sunrise, memakai kaos yang yang dulu aku beli bersama Gagah di Jogja. Kaos yang seharusnya dia juga masih menyimpannya. Tidak mau tahu apa kaos itu masih muat atau tidak dia pakai, semoga dia masih menyimpannya.
            “Sudah empat jam dokter disini, apa dokter sudah lupa dengan pasien pasien kesayangannya?” Ucap seorang laki – laki tiba – tiba.
Belum sempurna aku menoleh, laki – laki itu sudah berdiri tepat disampingku. Wajah itu, tatapan itu, senyuman itu, aroma parfum itu, dan…kaos itu persis dengan yang sedang aku pakai. Aku sempurna bungkam, nyaris tak sadarkan diri.
            Dengan sisa kekuatan aku coba bertahan. Wajah yang sangat aku kenali, tak banyak berubah. Meski terlihat lebih dewasa dan tatapannya masih seperti dulu, selalu membuatku damai. Wajah yang setiap jengkal nafas aku rindukan.
            “Tujuh tahun lebih, banyak hal yang seharusnya kau tahu.” Ucapnya, aku masih bungkam.
            “Tenang saja, sebentar lagi aku akan beritahu semuanya.” Dia tersenyum lembut.
            “Aku rasa ini saatnya. Sudah lama aku mencintainya. Sejak aku mencintainya, tak pernah sedikitpun rasa itu berkurang. Sedikitpun, meski dia bungkam. Meski jarak dan waktu telah memisahkan, tapi aku tetap mencintainya. Sebab ku tahu, dia juga begitu mencintaiku. Aku akan menikahinya, nanti malam aku akan datang ke rumahnya. Menemui kakeknya, membicarakan rencana pernikahan ku dengannya. Jadi, bu dokter sebaiknya dandan yang cantik.” Gagah berlalu, meninggalkan senyumannya dibenakku.
            Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh detik…air mata ini sempurna membasahi pipiku. Apa ini Tuhan? Tujuh tahun yang menyakitkan, Tujuh tahun yang menyesakkan, Tujuh tahun yang membuat hati ini lumpuh tak mampu tersentuh oleh lelaki manapun. Mungkinkah do’a – do’aku selama tujuh tahun ini telah membuncah menembus kerajaan-Mu? Entahlah, mungkin aku berlebihan. Aku tak tahu bagaimana Kau mengaturnya. Alhamdulillah…puji syukur kehadirat-Mu.



#OneDayOnePost 
#FebruariMembara
#18 Feb

           

0 komentar:

Post a Comment

© Liana's Blog, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena