ketika aku memilih berbicara lewat tulisan...

Saturday, February 20, 2016

Desember, Mak pulang !



            Sinar mentari semakin menggelitik,  memaksa bocah kecil itu membuka kelopaknya. Perlahan senyum mengembang, ia bangkit dan berlari. Jemari mungilnya bergegas menembus pelataran rumah.
            “Mak pulang…mak pulang…” Jingkraknya dalam hati.
            Tak lama matanya berbinar. Rombongan ombak seakan merayu langkah kecilnya untuk mendekat. Berharap tak lama lagi datang kapal besar yang membawa pulang mak kesayangannya.
            “Mak, Ara tahu mak tak pernah ingkar janji. Ara tahu mak pasti pulang.” Bisiknya lirih.
            Ia berlari, berputar-putar dalam kebahagiaannya sendiri. Pasir, ombak dan angin setia menemani. Satu jam…dua jam…tiga jam berlalu, bocah bermata jernih itu mulai bosan. Permainan angin tak menarik lagi baginya. Matahari yang semakin terik membuat tawanya menyusut.
            “Ara lapar, mak. Ara pulang dulu, nanti sore Ara ke sini lagi yaa…” Ia beranjak, meninggalkan jejak-jejak kecil di pasir.
***
“Mak dimana, kak? Kenapa mak tak pulang? Bukankah mak bilang akan pulang Desember?”  Tanya Ara, polos.
“Kau sabarlah saja dulu, Ra. Mungkin kerjaan mak di sana masih banyak. Kau berdo’a saja selalu  untuk mak.” Mutia mengelus kepala adik kecilnya itu.
“Tapi mak pasti pulang kan, kak? Mak pasti rindu dengan kita seperti kita merindukan mak.” Suaranya serak. Mutia menarik nafas panjang, lalu meraih Ara kedalam pelukannya.
Keduanya larut dalam perasaannya masing-masing. Nyanyian sang hujan melengkapi drama malam itu. Dua anak manusia menahan sesak di dada, pilu. Rindu hadirnya sosok mak yang sudah lama tak mereka jumpai.
Bagi Ara, Desember adalah bulan ceria. Bulan dimana harapan-harapannya sudah di ambang nyata. Dan ia segera akan menghempaskan tumpukkan rindu itu di hamparan laut yang luas. Entah dimana lagi ia harus menata rindu yang berserakan itu. Ibarat wadah yang sudah tak mampu lagi menampung volume air yang terus bertambah. Mungkin seperti itulah tumpahan rindunya, tak terbendung.
***
            “Ara…” Seru Mutia dari kejauhan. Si kecil Ara hanya menoleh sejenak. Ia  kembali dalam lamunannya menatap senja, memaksa Mutia mendekati adik mungilnya itu.
“Kenapa kau masih di sini?  Lihat, matahari juga hendak pulang ke peraduannya. Mari kita pulang, jangan biarkan dia mendahului kita.” Mutia tersenyum, nampak ayu dengan lesung
pipinya.
            “Mak, kak. Mak tak kunjung datang. Apa kapal mak tersesat, kak?” Ara menggigit bibirnya.
            “Mungkin lusa mak baru pulang. Ayolah, kakak ada makanan enak untukmu di rumah.” Tak lama keduanya bangkit meninggalkan ombak yang berdeburan.
            Andai saja mak melihat  kedua gadis kesayangannya saat ini, mungkin dulu mak tak akan pernah sekejap saja pergi meninggalkan mereka. Mak akan urungkan keputusannya ke pulau seberang. Ternyata kepergiannya ke Batam tak lain hanya menambah nestapa Mutia dan Ara.
            “Ikannya enak, darimana kak Muti dapatkan ini?” Ara makan dengan lahapnya.
            “Kang Johar …” Jawab Mutia singkat.
“Tapi lebih enak masakan mak, lebih enak lagi kalau ada mak di sini. Ara akan minta disuapi mak.” Sambung Ara, Mutia hanya menelan ludah.
“Mak dimana ya? Sedang apa? Apa mak sudah makan?” Ara menghentikan suapannya.
“Ara rindu, mak.” Ia mengusap matanya.
“Ara…”Mutia mendekap Ara, sekuat tenaga ia cegah butiran itu mengalir.
Saat seperti ini Mutia merasa gagal menjadi kakak. Ia jarang menemani Ara karena sibuk
mengumpulkan rupiah. Ara yang masih sangat belia harusnya mendapatkan perhatian penuh. Tak dipungkiri, Mutia sendiri masih sangat membutuhkan mak. Ara satu-satunya alasan ia tegar melewati ini.
***
            Malam hampir larut, Mutia mempercepat langkahnya. Ia terpaksa pulang malam karena hari ini Kang Johar memberinya banyak pekerjaan. Sudah tak sabar rasanya ia rebahkan tubuh disamping adik mungilnya, Ara.
            Namun sekejap rasa kantuk dan lelahnya terampas saat ia tahu Ara tak ada di rumah. Dimana Ara? Tak butuh waktu lama, sekiranya Mutia tahu dimana Ara. Ia berlari, tak peduli serangan angin malam yang menyergapnya. Semakin cepat ia berlari, melewati sorak sorai. Ia sama sekali tak peduli dengan perayaan orang-orang itu.
            “Ara…” Mutia mengatur nafasnya.
Tak ada balasan dari gadis mungil itu, matanya kelap-kelip menatap laut.
            “Maaf kak Muti pulang malam, kau pasti kesepian. Ayo pulang, Ara…” 
            “Ara, kau bisa menunggu mak esok lagi. “ Mutia merangkul Ara.
“Esok? Esok tak ada lagi Desember kak Muti. Ini hari terakhir dan mak tetap tak pulang.Mak  dimana? Ini ketiga kalinya Desember berbohong. Desember tak pernah membawa pulang mak…” Tangisnya pecah dalam pelukan Mutia.
Ya Tuhan…mak dimana? Kenapa mak tak pernah pulang? Kami rindu mak, jangan biarkan kami mati oleh siksa rindu padanya. Mak, kami mohon pulanglah. Tangis Mutia dalam hati.


 #OneDayOnePost
#FebruariMembara 
#19 Feb


*Cerpen ini di buat tahun 2013 :)
Read More

Tuhan, dia yang kucinta



             Sore itu langit nampak indah dengan hiasan pelangi, dedaunan pun masih nampak basah sepeninggal hujan reda. Tapi aku tak mampu menikmati keindahan Tuhan sore itu. Aku masih termangu di kamar, menyaksikan anak-anak kecil berangkat TPQ dari jendela. Menyenangkan memang, teringat sepuluh tahun yang lalu saat aku masih seusia mereka. Tapi bukan itu yang sedang aku pikirkan, bukan itu yang membuat aku memilih dikamar seusai sholat ashar.
            Ini tentang Gagah. Ya, ini tentang kejadian di depan rumah sebelum dia beranjak pulang seusai mengantarku. Gagah menyukaiku, dia menyayangiku. Ya, dia mengutarakan semua perasaannya kepada ku. Aku bingung, aku hanya menunduk saat itu. Sejenak, semuanya tiba-tiba hening. Aku tak tau apa yang Gagah lakukan. Apa dia terus menatapku, apa dia menatap jalanan yang lengang saat itu. Entahlah, aku terus saja menunduk. Hingga ku dengar dia menghela nafas panjang.
            “Maafkan aku Nis, kamu tak harus menjawabnya sekarang. Aku akan nunggu sampai kamu siap.” Ucapnya sambil tersenyum. Saat itu aku beranikan diri menatap wajahnya.
            “Aku pulang dulu. Assalamualaikum…” Gagah berlalu, bayangannya sudah tak terlihat lagi.
             Gagah sahabatku. Aku memang baru mengenalnya awal kelas tiga. Dia pindahan dari luar kota. Tapi kami cukup dekat. Kami sering menghabiskan waktu bersama untuk belajar kelompok, mengisi liburan, bermain, diskusi masalah sekolah, juga tentang mimpi-mimpi kami kedepan.
            Saat aku rindu ayah dan ibu, tak jarang Gagah yang menjadi pendengar sekaligus pemberi semangat. Ya, aku yatim piatu sejak usia 7 tahun. Sejak saat itu, aku diasuh oleh kakek dan nenek. Tapi, nenek juga pergi saat aku lulus SMP. Kini, aku hanya tingggal berdua dengan kakek. Kami berdua saling menyayangi. Kami lewati hari demi hari berdua. Suka maupun duka kami syukuri. Aku selalu cerita semuanya kepada kakek. Kakek punya usaha peternakan. Kakek lebih sering menghabiskan waktunya untuk mengurus usahanya itu. Mungkin karena itulah satu-satunya sumber penghidupan kami saat ini.
*******
Keesokan harinya…
Oh no ! Gagah ! Dia menjemputku. Hampir saja aku ingin membalikkan badan kemudian segera kembali masuk kedalam. Tapi, itu tentu tak mungkin. Aku tersenyum, dengan susah payah aku berusaha bersikap seperti biasa.
            “Sorry agak telat Nis, motornya tadi ngadat.”
            “Iya gapapa, kirain gak jemput hehehe…” Aku berusaha bercanda meskipun aku sadar ini kaku sekali kelihatannya.
Aku gak nyangka Gagah akan tetap menjemput aku setelah kejadian itu. Dia bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa diantara kita. Syukurlah, aku senang dengan sikapnya ini.
            Di sekolah pun Gagah bersikap seperti biasa, dia tak berubah sedikitpun. Aku lega, berharap dia tak  mengungkit hal itu lagi.
*******
            Seiring waktu berlalu, tak ada yang berubah. Gagah tak pernah membahas kejadian itu lagi. Aku senang dan mulai melupakannya. Hari-hari masih sering ku habiskan bersama Gagah. Seperti siang ini. Panasnya terik tak mengurangi keceriaan kami. Gagah melaju dengan motor bebeknya dan aku tetap menjadi penumpang setianya. Aku tak mampu menahan tawa tiap kali dia menceritakan hal-hal konyol yang mungkin sebenarnya tak penting, tapi bagiku itu tetap menyenangkan. Mungkin itu salah satu sebab mengapa aku tak pernah bosan saat bersamanya.
            “Okesip, thanks yaa…” Ucapku sambil melepas helm.
Gagah tersenyum, dia menatapku. Terlihat serius, dan aku mulai tegang entah kenapa.
            “Langsung pulang kan? Gak mampir kan? Hehe…” Aku coba mengajaknya bercanda.
            “Waktu yang sama, hari yang sama, tanggal yang sama, tempat yang sama. Tiga bulan yang lalu…” Gagah mulai berbicara.
            “Nisa, aku sayang kamu. Tiga bulan yang lalu, disini. Didepan rumah kamu, sudah aku ungkapkan semua. Dan aku juga berjanji akan menunggu sampai kamu siap menjawabnya. Selama ini aku diam bukan karena aku lupa atau ingin melupakannya. Aku biarkan kamu berfikir, akupun sama. Aku juga memikirkan semua ucapanku. Aku coba meyakinkan perasaan aku, apa benar aku menyayangimu. Dan kali ini, aku kembali mengungkapkan semua Nis. Aku semakin yakin dengan perasaan aku. Aku sayang kamu Nis. Aku mencintai kamu. Apa kamu sudi mengisi hati aku Nis?” Gagah masih menatapku, aku juga menatapnya namun menunduk sesekali.
            “A…ak..aku…gak bisa jawab sekarang, maaf.”
            “Aku masih harus menunggu lagi Nis? Berapa lama lagi nis?”
Aku diam, bingung, gugup. Ingin sekali rasanya punya ilmu menghilang seketika seperti jin-jin disinetron-sinetron. Ahh…tapi itu mustahil, konyol. Aku tetap menunduk, memperhatikan sepatu hitam bertali yang Gagah pakai.
            “Yaudah, aku pulang ahh…udah siang, laper. Lagian gak disuruh mampir sih. Assalamualaikum…” Katanya sambil memakain helm dan tancap gas berlalu.
Seketika Gagah berubah, kembali ceria  seolah tak terjadi apa-apa. Gagah oh Gagah…  Gagah yang aneh.
*******
            Oh Tuhan…untuk apa aku mengingat semua itu? Semua itu sudah berlalu, tujuh tahun yang lalu. Bukan aku tak ingin melupakannya, tapi memang aku tak mampu melupakan semua itu. Tujuh tahun yang lalu, aku tak menyangka itu terakhir kalinya Gagah mengungkapkan perasaannya. Setelah itu dia seolah bungkam. Entahlah, aku tak tau seberapa berarti aku untuknya. Tapi yang aku tau, aku mencintainya, dulu…sekarang…dan nanti.
            Aku memilih diam sebab aku merasa butuh waktu. Tak ingin terburu – buru dalam hal perasaan. Meski saat itu aku tau, aku tak mau kehilangannya. Aku tak mampu, bahkan mungkin tak akan pernah mampu kehilangan dia. Seiring berjalannya waktu dan jarak yang memisahkan ternyata aku masih mencintainya.
            Ya, perasaan itu tak berkurang sedikitpun. Bahkan meski aku tak pernah lagi berjumpa dengannya sejak lulus SMA, tak pernah lagi ada komunikasi dengannya meski hanya sebatas sms atau e-mail. Aku bahkan tak punya nyali untuk sekedar menghubunginya, mencoba membunuh rasa penasaran apa nomornya yang dulu masih aktif. Entahlah…maafkan aku Tuhan.
*******
            Hari ini cerah, sayangnya tak ada jadwal praktek . Jadwal bertemu dengan pasien juga tak ada. Tapi hari ini adalah hari istimewa untukku, ehm untuk dia sebenarnya. Hari ini Gagah ulang tahun, 11 januari. Aku sudah duduk di pantai sejak pagi. Menyaksikan sunrise, memakai kaos yang yang dulu aku beli bersama Gagah di Jogja. Kaos yang seharusnya dia juga masih menyimpannya. Tidak mau tahu apa kaos itu masih muat atau tidak dia pakai, semoga dia masih menyimpannya.
            “Sudah empat jam dokter disini, apa dokter sudah lupa dengan pasien pasien kesayangannya?” Ucap seorang laki – laki tiba – tiba.
Belum sempurna aku menoleh, laki – laki itu sudah berdiri tepat disampingku. Wajah itu, tatapan itu, senyuman itu, aroma parfum itu, dan…kaos itu persis dengan yang sedang aku pakai. Aku sempurna bungkam, nyaris tak sadarkan diri.
            Dengan sisa kekuatan aku coba bertahan. Wajah yang sangat aku kenali, tak banyak berubah. Meski terlihat lebih dewasa dan tatapannya masih seperti dulu, selalu membuatku damai. Wajah yang setiap jengkal nafas aku rindukan.
            “Tujuh tahun lebih, banyak hal yang seharusnya kau tahu.” Ucapnya, aku masih bungkam.
            “Tenang saja, sebentar lagi aku akan beritahu semuanya.” Dia tersenyum lembut.
            “Aku rasa ini saatnya. Sudah lama aku mencintainya. Sejak aku mencintainya, tak pernah sedikitpun rasa itu berkurang. Sedikitpun, meski dia bungkam. Meski jarak dan waktu telah memisahkan, tapi aku tetap mencintainya. Sebab ku tahu, dia juga begitu mencintaiku. Aku akan menikahinya, nanti malam aku akan datang ke rumahnya. Menemui kakeknya, membicarakan rencana pernikahan ku dengannya. Jadi, bu dokter sebaiknya dandan yang cantik.” Gagah berlalu, meninggalkan senyumannya dibenakku.
            Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh detik…air mata ini sempurna membasahi pipiku. Apa ini Tuhan? Tujuh tahun yang menyakitkan, Tujuh tahun yang menyesakkan, Tujuh tahun yang membuat hati ini lumpuh tak mampu tersentuh oleh lelaki manapun. Mungkinkah do’a – do’aku selama tujuh tahun ini telah membuncah menembus kerajaan-Mu? Entahlah, mungkin aku berlebihan. Aku tak tahu bagaimana Kau mengaturnya. Alhamdulillah…puji syukur kehadirat-Mu.



#OneDayOnePost 
#FebruariMembara
#18 Feb

           

Read More

Wednesday, February 17, 2016

Terimakasih telah melepasku (Part 2)



              Ini hari kedua Wira tidak berangkat kerja. Entah apa alasannya, sejak kemarin dia tidak menghubungiku. Akupun enggan untuk menanyakan kabarnya. Kurasa ibu benar, aku tidak seharusnya terlalu mengharapkannya.
Wira memang mengaku bahwa dia menyukaiku. Tak jarang dia menghabiskan waktu denganku. Entah hanya sekedar makan di luar atau mengajakku ke tempat yang belum pernah aku kunjungi. Sejauh ini, aku menilai dia lelaki yang baik. Tapi satu hal yang akhirnya membuatku ragu, dia tidak pernah mengajakku bertemu orang tuanya. Bahkan hingga detik ini, hampir satu tahun kami menjalin kedekatan.
“Nis, kemaren gue ketemu Wira,” tiba-tiba Andre menepuk pundakku.
 “Dimana?”  kami jalan beriringan masuk ke kantor.
“Pas gue dateng di nikahannya Roy,” jawab Andre santai.
“Roy yang staff PE?” tanyaku.
“Iya, gue malah ngobrol-ngobrol sama Wira. Kasian liat dia duduk sendirian di depan kayak tukang parkir, hahaha… cie yang dateng ke nikahan mantan cie…” Andre menggoda.
“Maksud lo?” aku tidak mengerti arah pembicaraan Andre.
“Iya, Windy istrinya Roy kan mantannya Wira. Dia dulu kerja di sini juga, tapi resign. Kayaknya beberapa bulan sebelum lo kerja di sini deh,”
Ya Allah…apa lagi ini? Wira punya mantan di sini? Kenapa dia tidak pernah cerita? Dan kenapa aku harus tahu dari orang lain? Andre tidak mungkin mengarang, aku kenal dia. Apalagi dia lebih dulu kerja di sini. Wajar kalau dia tahu Wira lebih banyak daripada aku.
“Eh Nis, kok bengong? Emang lu gak tau kalo mantannya Wira pernah kerja di sini? Tapi setau gue Windy itu pacarnya Wira pas jaman SMA, terus mereka ketemu lagi pas kerja di sini.
“Sebelum kenal lo, Wira juga pernah suka cewek divisi lain kok. Hahaha…lo pasti gak tau juga kan?” Sifat ceplas ceplos Andre kadang memang bikin sakit hati. Tapi berkat dia juga akhirnya aku tahu tentang masa lalu Wira.
***
            “Kenapa kamu delcon BBM aku? Unfriend facebook aku juga?” tanya Wira tanpa basa-basi. Aku membuka pintu kontrakan lebih lebar, tanpa menyuruhnya masuk.
            “Kurasa itu bukan masalah, toh aku bukan siapa-siapa kamu kan?” jawabku datar.
“Kamu marah sama aku gara-gara aku tidak menghubungi dua hari ini? Nis, aku cuma pengin tahu seberapa besar kamu peduli sama aku. Aku sengaja gak hubungi kamu. Kamu sadar gak selama ini selalu aku yang memulai komunikasi.
“Kamu gak pernah menghubungi aku kalau aku tidak memulai menghubungimu. Dan kemarin aku nunggu kamu. Tapi ternyata kamu sama sekali tidak mengkhawatirkan aku.”
“Oh ya? Kekanak-kanakan sekali kamu, Wir. Bukankah kamu sedang berkabung karena mantan pacarmu menikah? Kenapa? Kamu kehilangan semangat? Sampai tidak masuk kerja?”
“Aku kekanak-kanakan? Berkabung? Apa yang kamu pikirkan, Nis?”
“Sudahlah, aku tidak mau lagi menjalin kedekatan denganmu. Buang-buang waktu !”
“Nis, ada apa denganmu? Aku serius sama kamu. Aku juga sudah bertemu ibu kan?”
“Kamu pembohong, Wir ! Apa kamu lupa? Dulu kamu bilang, kamu sudah tidak punya apapun tentang masa lalu kamu. Foto, kontak, benda-benda, semua. Tapi apa? Nyatanya kamu masih berteman dengan mantan kamu di facebook.”
“Nis, facebook itu kan beda dengan BBM, Whatsapp, sama yang lainnya.”
“Kenapa kamu gak jujur aja? Apapun alasannya, kamu sudah membohongiku, Wir,” aku menunduk, hangat mengalir dari ujung mataku.
“Dan tentang keseriusanmu, nyatanya kamu tak pernah mencoba mengenalkanku pada keluargamu.” Kutepis pipiku yang basah.
“Kamu terlalu egois, Nis. Aku gak sanggup dengan keegoisanmu ini. Kamu gak tau apa yang ada di dalam hatiku, Nis.
“Baiklah, kalau ini yang kamu inginkan. Jika menjauh dariku membuatmu bahagia, pergilah. Maafkan aku tidak sanggup menahanmu,” ucap Wira sebelum akhirnya pergi meninggalkanku.
Aku tak mampu lagi menahan tangis. Ingin sekali aku menahanmu pergi dan mengatakan bahwa aku menyayangimu, Wir. Tapi kurasa kata-kata itu tidak pantas kuucapkan. Kamu bilang aku begitu egois dan tidak mengerti apa yang ada di hatimu? Bagaimana aku mengerti jika kamu sendiri tak pernah mengatakannya?
Kamu membiarkanku menerka-nerka sendiri tentangmu sehingga akupun harus menyimpulkan sendiri bahwa kamu tak serius dengan perasaanmu. Dan sekarang kamu melepasku begitu saja? Tak adakah sedikit usahamu untuk menahanku? Meyakinkan bahwa kamu memang serius ingin membangun masa depan denganku?
Baiklah, Wir. Terimakasih pernah menumbuhkan harapan di hatiku. Terimakasih atas masa depan yang pernah kamu tawarkan. Semoga esok kamu akan mengerti, bukan seperti ini cara mencintai wanita.
            

#OneDayOnePost
#FebruariMembara
#17 Feb
Read More

© Liana's Blog, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena