Sinar mentari semakin
menggelitik, memaksa bocah kecil itu
membuka kelopaknya. Perlahan senyum mengembang, ia bangkit dan berlari. Jemari
mungilnya bergegas menembus pelataran rumah.
“Mak pulang…mak
pulang…” Jingkraknya dalam hati.
Tak lama matanya
berbinar. Rombongan ombak seakan merayu langkah kecilnya untuk mendekat. Berharap
tak lama lagi datang kapal besar yang membawa pulang mak kesayangannya.
“Mak, Ara tahu mak tak
pernah ingkar janji. Ara tahu mak pasti pulang.” Bisiknya lirih.
Ia berlari,
berputar-putar dalam kebahagiaannya sendiri. Pasir, ombak dan angin setia
menemani. Satu jam…dua jam…tiga jam berlalu, bocah bermata jernih itu mulai
bosan. Permainan angin tak menarik lagi baginya. Matahari yang semakin terik
membuat tawanya menyusut.
“Ara lapar, mak. Ara
pulang dulu, nanti sore Ara ke sini lagi yaa…” Ia beranjak, meninggalkan
jejak-jejak kecil di pasir.
***
“Mak dimana, kak? Kenapa mak tak pulang? Bukankah mak
bilang akan pulang Desember?” Tanya Ara,
polos.
“Kau sabarlah saja dulu, Ra. Mungkin kerjaan mak di
sana masih banyak. Kau berdo’a saja selalu
untuk mak.” Mutia mengelus kepala adik kecilnya itu.
“Tapi mak pasti pulang kan, kak? Mak pasti rindu
dengan kita seperti kita merindukan mak.” Suaranya serak. Mutia menarik nafas
panjang, lalu meraih Ara kedalam pelukannya.
Keduanya larut dalam perasaannya masing-masing.
Nyanyian sang hujan melengkapi drama malam itu. Dua anak manusia menahan sesak
di dada, pilu. Rindu hadirnya sosok mak yang sudah lama tak mereka jumpai.
Bagi Ara, Desember adalah bulan ceria. Bulan dimana
harapan-harapannya sudah di ambang nyata. Dan ia segera akan menghempaskan
tumpukkan rindu itu di hamparan laut yang luas. Entah dimana lagi ia harus
menata rindu yang berserakan itu. Ibarat wadah yang sudah tak mampu lagi
menampung volume air yang terus bertambah. Mungkin seperti itulah tumpahan
rindunya, tak terbendung.
***
“Ara…” Seru Mutia dari
kejauhan. Si kecil Ara hanya menoleh sejenak. Ia kembali dalam lamunannya menatap senja,
memaksa Mutia mendekati adik mungilnya itu.
“Kenapa kau masih di sini? Lihat, matahari juga hendak pulang ke
peraduannya. Mari kita pulang, jangan biarkan dia mendahului kita.” Mutia
tersenyum, nampak ayu dengan lesung
pipinya.
“Mak, kak. Mak tak
kunjung datang. Apa kapal mak tersesat, kak?” Ara menggigit bibirnya.
“Mungkin lusa mak baru
pulang. Ayolah, kakak ada makanan enak untukmu di rumah.” Tak lama keduanya bangkit
meninggalkan ombak yang berdeburan.
Andai saja mak
melihat kedua gadis kesayangannya saat
ini, mungkin dulu mak tak akan pernah sekejap saja pergi meninggalkan mereka.
Mak akan urungkan keputusannya ke pulau seberang. Ternyata kepergiannya ke
Batam tak lain hanya menambah nestapa Mutia dan Ara.
“Ikannya enak, darimana
kak Muti dapatkan ini?” Ara makan dengan lahapnya.
“Kang Johar …” Jawab
Mutia singkat.
“Tapi lebih enak masakan mak, lebih enak lagi kalau
ada mak di sini. Ara akan minta disuapi mak.” Sambung Ara, Mutia hanya menelan
ludah.
“Mak dimana ya? Sedang apa? Apa mak sudah makan?” Ara
menghentikan suapannya.
“Ara rindu, mak.” Ia mengusap matanya.
“Ara…”Mutia mendekap Ara, sekuat tenaga ia cegah
butiran itu mengalir.
Saat seperti ini Mutia merasa gagal menjadi kakak. Ia
jarang menemani Ara karena sibuk
mengumpulkan rupiah. Ara yang masih sangat belia harusnya mendapatkan
perhatian penuh. Tak dipungkiri, Mutia sendiri masih sangat membutuhkan mak.
Ara satu-satunya alasan ia tegar melewati ini.
***
Malam hampir larut,
Mutia mempercepat langkahnya. Ia terpaksa pulang malam karena hari ini Kang
Johar memberinya banyak pekerjaan. Sudah tak sabar rasanya ia rebahkan tubuh
disamping adik mungilnya, Ara.
Namun sekejap rasa
kantuk dan lelahnya terampas saat ia tahu Ara tak ada di rumah. Dimana Ara? Tak
butuh waktu lama, sekiranya Mutia tahu dimana Ara. Ia berlari, tak peduli
serangan angin malam yang menyergapnya. Semakin cepat ia berlari, melewati
sorak sorai. Ia sama sekali tak peduli dengan perayaan orang-orang itu.
“Ara…” Mutia mengatur
nafasnya.
Tak ada balasan dari gadis mungil itu, matanya kelap-kelip menatap laut.
“Maaf kak Muti pulang
malam, kau pasti kesepian. Ayo pulang, Ara…”
“Ara, kau bisa menunggu
mak esok lagi. “ Mutia merangkul Ara.
“Esok? Esok tak ada lagi Desember kak Muti. Ini hari
terakhir dan mak tetap tak pulang.Mak
dimana? Ini ketiga kalinya Desember berbohong. Desember tak pernah
membawa pulang mak…” Tangisnya pecah dalam pelukan Mutia.
Ya Tuhan…mak dimana? Kenapa mak tak pernah pulang?
Kami rindu mak, jangan biarkan kami mati oleh siksa rindu padanya. Mak, kami
mohon pulanglah. Tangis Mutia dalam hati.
#OneDayOnePost
#FebruariMembara
#19 Feb
*Cerpen ini di buat tahun 2013 :)
*Cerpen ini di buat tahun 2013 :)